Diposkan pada Dongeng, Pendidikan

“Imau, Ayah dan Manusia Pemburu”

Sore itu, Imau kecil sedang memandangi senja di langit. Semburat oranye kegelapan seolah mewakilkan perasaan Imau yang sedang sedih. Mentari pamit meninggalkan langit imau, Imau tambah gusar. Ditatapnya kawanan Rangkong yang begerak ke arah utara, menuju rumah mereka di pinggiran Bukit.

Tanpa disadari Imau, ayahnya sejak lama memperhatikannya dari belakang. Dilihat ayah muka Imau yang seolah menggambarkan keresahan yang memuncak. Lantas ayah berpikir gerangan apa yang membuat Imau sesedih itu.

“Nak, ayah lihat kamu termangu seorang diri di sini. Hal apa yang sedang mengganggu pikiran mu? Coba ceritakan pada ayah, tanya ayah.”

Imau hanya terdiam, pertanyaan ayah tidak digubrisnya. Ia tetap duduk termangu seorang diri. Kehadiran ayah tidak membuatnya berubah untuk sekedar berbicara sepatah kata. Ayah tambah bingung, tidak biasanya Imau begini. Imau yang dikenal adalah sosok Harimau yang selalu ceria, selalu menghadirkan senyuman manisnya kepada siapa pun yang dijumpainya. Tapi hari ini ayah seolah tak menemukan Imau. Imau yang berada di depannya bagaikan batu diam tak berkutik.

“Baiklah, jika Imau tidak mau menceritakannya kepada ayah tidak apa-apa, ayah mengerti. Tapi maukah Imau ikut ayah besok? ” kata ayah.

Di dengarnya kata-kata ayah, di lemparkan pandangannya ke  arah ayahnya. Ada binar kasih sayang luar biasa yang di lihat Imau di mata ayah. Akhirnya Imau menyerah dari diamnya.

“Kemana ayah?, jawab Imau.”

“Ke suatu tempat, ayah ingin mengajak Imau berlibur. Besok pagi kita berangkat dari rumah, Imau tak perlu membawa apa-apa,  balas ayah.”

****

Kicauan Hen, si ayam hutan membangunkan Imau. Dibukanya mata, langit telah terang. Mentari tersenyum menyambut Imau yang baru terbangun.

“Kamu sudah siap Imau, kata ayah  yang telah bangun lebih dahulu.

“Sudah ayah. tapi tunggu sebentar ya ayah, jawab Imau.

Dilipatnya sebuah kertas yang malam tadi telah ditulis Imau. Diselipkannya di antara dua batu dekat di tempat tidurnya.

“Ayo ayah kita berangkat, seru Imau.”

Ayah dan Imau berjalan beriringan. Imau tidak tahu jika ayah akan membawanya ke danau tengah hutan.. Di lewatinya deretan Pohon Pinus yang menjulang tinggi. Selama perjalanan Imau tetap diam, sesekali di jawabnya lelucon ayah yang berniat menghibur Imau yang terlihat sedih.

Danau tengah hutan merupakan lokasi favorit ayah. Ayah sering bercerita tentang pertemuan ayah dan ibu di sini. Imau sedikit paham bahwa danau ini punya makna sendiri bagi ayah semenjak kepergian Ibu. Ibu Imau telah tiada. Waktu  Imau berumur 3 tahun, Ibunya terperangkap jerat yang di buat oleh manusia. 3 hari lamanya Ibu Imau terperangkap dalam kerangkeng besi itu membuat Ibu Imau stress dan akhirnya mati. Ayah Imau menemukan Ibu Imau dalam kondisi tak bernyawa lagi. Ketika hendak menolong Ibu Imau, manusia pemburu itu datang dan segera melepaskan tembakan ke arah Ayah Imau. Ayah segera berlari jauh dan bersembunyi. Hingga kini Ayah dan Imau tak pernah lagi bertemu Ibu sekalipun dengan mayatnya.

“Ayah, kenapa ayah membawa ku ke sini? Bukankah ayah telah berjanji untuk tidak ke tempat ini lagi karena ayah tidak ingin sedih mengenang Ibu?, tanya Imau.”

“Tidak apa-apa nak. Ayah hanya rindu dengan Ibu. Mungkin tempat ini bisa menghilangkan rasa rindu ayah terhadap Ibumu, jawab Ayah.”

Imau sebenarnya tak sampai hati mendengar jawaban ayahnya. Imau berpikir apa karena Imau yang dari kemarin bersedih ayahnya jadi teringat dengan ibu. Imau merasa bersalah.

“Imau, kemari nak. panggil Ayah.”

Segera Imau melangkahkan kaki, mendekat menuju Ayah. Didudukkannya dirinya tepat di samping Ayah yang sedang memandang danau.

“Imau, hutan tempat tinggal kita kini sedang terancam. Pembakaran hutan besar-besaran membuat beberapa bagian hutan ini telah berganti menjad abu. Tentu hal ini membahayakan kesehatan kita. Selain itu banyaknya penjerat yang di pasang oleh sekawanan pemburu juga banyak merenggut nyawa saudara-saudara kita. Ayah hanya tidak ingin, Ayah, Imau ataupun teman-teman yang lain menjadi korban-korban selanjutnya. Tingkah laku sekelompok manusia mengancam keselamatan keberadaan kita di hutan ini. Oleh karena itu, Ayah hanya ingin Imau tetap berwasapada dimanapun dan kapanpun, nasehat Ayah.

“Iya ayah, Imau akan selalu waspada sesuai dengan nasehat ayah. Ayah, bolehkah Imau membalas semua kejahatan manusia pemburu itu ayah? Imau ingin mencabik-cabik salah satu dari mereka agar menjadi perinngatan bagi mereka. Imau hanya ingin mereka tidak mengganggu hutan kita lagi, jawab Imau.”

Imau, balas dendam bukanlah sebuah solusi untuk permasalahan antara kita dan manusia pemburu itu. Bukankah ayah tidak pernah mengajarkan pada Imau untuk dendam pada seseorang. Tak sepantasnya kita begitu. Perlakukan mereka dengan baik, ayah yakin mereka akan sadar dengan sendirinya, kata ayah.”

“Baiklah ayah, jawab Imau.

Hari telah beranjak siang, matahari kian tinggi. Ayah mengajak Imau pulang ke rumah. Di susurinya kembali jalan yang mereka lewati saat pergi kembali. Di jalan mereka bertemu kerabat mereka, Giring, Ucok dan Buyung yang sedang mencari makanannya. Disapanya kerabat-kerabatnya yang telah lama tak dijumpainya. Setelah bertegur sapa, dilanjutkan kembali perjalanan ayah dan anak ini menuju rumah mereka.

Tiba-tiba, terdengar sebuah bunyi senapan.

“Dorrrrrrrrrrrrrrrr…………. Sebuah peluru mengarah menuju Ayah dan Imau. Kedua Harimau ini mencoba mengelak, tapi peluru seolah tetap bergerak melesat dengan kecepatan tinggi. Tak terelakkan lagi, peluru tersebut menancap di tubuh Imau. Darah bersimbah keluar dari tubuh Imau. Ayah ingin menolong Imau tapi Imau tak bergerak lagi. Ayah mencoba membawa Imau pergi dari tempat tersebut. Tapi ternyata manusia pemburu melepaskan kembali tembakannya yang hampir saja mengenai tubuh ayah Imau. Ayah sebenarnya tidak tega melihat mayat Imau yang terkapar, tapi ayah tidak ingin menambah kebahagiaan manusia pemburu dengan merelakan tubuhnya terhunus kejam oleh sebuah peluru. Ayah segera berlari kencang meninggalkan tempat  Imau menuju rumah.

Sesampainya di rumah ayah menangis sejadi-jadinya. Ayah telah kehilangan dua orang yang sangat disayanginya akibat perburuan yang dilakukan manusia. Ayah sangat terpukul, terbesit di dalam pikiran ayah untuk menghabisi manusia pemburu itu. Tapi ayah pikir ini hanya akan memperkeruh suasana saja. Ayah tidak ingin hanya berdiam diri, esok ia akan mengumpulkan seluruh Harimau yang ada di Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat ini guna mencari solusi dari permasalahan ini. Ayah hanya tidak ingin gegabah mengambil tindakan, apalagi di saat emosinya yang sedang meledak-ledak seperti sekarang.

Tak sengaja ekor Ayah menjatuhkan sebuah kertas yang terselip diantara batu tempat biasa Imau tidur. Di ambil ayah kertas yang jatuh tersebut. Di bacanya kertas tersebut, sebuah surat tulisan Imau.

Untuk Kaumku, Harimau Sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat..

Hutan tempat tinggal kita keadaannya sedang terancam. Ibu ku pun menjadi salah satu korban. Suara letupan tembakan seolah gegap gempita di tengah hutan. Membuat hati setiap Harimau kian nelangsa seolah tak terperikan.

Hutan di bakar, jeratan pun di sebar. Manusia pemburu kian sangar. Nasib harimau tak bisa terelakan. Lenyap habis tak bersisakan.

Manusia kini memburu kita dengan cara membabi buta. Tak perdulikan nasib pedih yang menimbulkan lara. Meninggalkan bahagia bagi para pemburu kita. Meninggalkan sedih bagi para korban duka.

Kaum kami yang terkenal garang tak membuat pemburu mati ketakutan. Justru harga jual kami yang semakin tajam, membuat ia makin kesetanan.

Semoga tidak ada korban-korban perburuan selanjutnya. Semoga Imau, ayah dan teman-teman lainnya dapat tetap hidup lama di hutan ini. 

Air mata jatuh perlahan di pipi ayah. Terkenang semua ingatan yang pernah dilalui bersama anak kesayangannya itu .

Selesai

Penulis:

Seorang pemimpi yang terus berusaha melawan keterbatasan. Singgle fighter. FIM 17. BEM KBM Universitas Jambi 3 generasi. Mahasiswi tingkat akhir Pendidikan Biologi PGMIPAU FKIP Universitas Jambi.

Tinggalkan komentar